Sang Bidadari Putih itu mengepakkan sayapnya sambil bercucuran air mata
Sang Kesatria pun menjerit-jerit mengumpulkan butiran-butiran air mata Sang Bidadari Putih itu
Ia padukan dalam belanga dengan butiran-butiran air matanya
Menjelmalah tali kasih nan kukuh
Lalu dirajutnya menjadi untaian tangga ditutupi kain sutra putih
Kerap sebagai penawar rindu ia bukakan kain penutup itu
Dengan serta-merta ia naiki tangga tali kasih dari butiran-butiran air mata cinta itu
Sambil tiada henti meratap dan bertanya
Lambaianmu begitu indah untukku jiwa ragaku duhai Bidadari Putihku
Tuhanku, di manakah Manikam Hatiku
Di manakah Purnamaku di manakah Bunga Terindahku
Di manakah Bidadari Putihku itu
Bergelora makna derita cinta
Sang Bidadari Putih itu telah tiada
Dia berada nun jauh di tempat yang tiada bertepi
Lunglai Sang Kesatria menaiki rajutan untaian tangga
Sang Kesatria menutupkan kain sutra putih penutup rajutan untaian tangga tali kasih itu
Butiran-butiran air mata yang tiada henti menitik
Hanya menambah panjangnya makna rajutan untaian tangga derita cinta
Semakin lama semakin deras semakin panjang terdapatkan
Sang Kesatria ingin segera bertemu dengan Sang Bidadari Putih Si Pelambai Cinta itu
Innalillaah … ia ingin tinggal
Untuk bersama-sama menghapus ketidakkekalan cinta
Yang akan menambah kerusakan di antara mereka
Dimuatkan ke fiksi kompasiana 15 Juli 2012 | 05:45
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/07/15/lambaian-si-pelambai-cinta-nan-abadi-476993.html
Kita berkejaran berebut angan
Berebut selera berebut jalan
Kita berkejaran bercerita benar
Tentang kehidupan nan indah
Lalu kita setia kepada masing-masing cerita nan indah kita
Kita ramai-ramai bergandengan tangan
Demi penduduk demi agama demi negeri
Lalu berkejaran menuju suksesi
Kendati begitu akankah semata khayali yang kita lakukan
Karena berbenturan dengan sekutu yang berkejaran makna terbaik kehidupan
Akankah ada penampikan dengan berbagai cita rasa nan sedap
Sungguh nyata kita selalu berkejaran
Dimuatkan ke fiksi kompasiana 11 Juli 2012 | 06:34
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/07/11/berkejaran-476036.html
Ketika api mulai menaiki ubun-ubun
Sedetik saja padam dengan api senyuman manismu itu
Tetapi ketika api yang menaiki ubun-ubun itu sirna
Terbitlah api senyuman manismu di tanah bera dada ini
Tidak tertahankan dan berkobar-kobarlah
Meluluhlantakkan, membumihanguskan sekujur tubuh
Mewujud Api Pesona Rindu!
Duhai Ananda
Rembulan dini hari menjadi saksi
Isak tangis dan teriakan-teriakan SOS tanah bera dada ini
Bapak tiada daya
Duhai Ananda
Bapak …
Bapak titipkan
Janganlah nanti terjadi arti peribahasa ini
Kecil-kecil anak kalau sudah besar onak
Duhai Ananda Api Pesona Rindu Bapak!
(Buat Ananda yang nun jauh)
Dimuatkan ke fiksi kompasiana 09 Juli 2012 | 07:13
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/07/09/api-pesona-rindu-475514.html
Sahaya tergoda kecantikan makhlukMu itu
Membuat sahaya terpaku senyumannya Yaa Rabb
Sahaya terbayang-bayang budi pekertinya
Membuat sahaya terpasak bahasanya Yaa Rabb
Sahaya tergiur kemolekan tubuhnya
Membuat sahaya panas-dingin Yaa Rabb
Terbayang-bayang terngiang-ngiang tergoda tergila-gila
Tidak berdaya
Bolehkah sahaya meratapinya Yaa Rabb
Duhai Ratna Cempaka
Duhai Ratna Dewi
Duhai Ratna Juita
Sebegitu indahnya Adinda Diciptakan
Sebegitu malasnya Kanda berpaling menatap
Yaa Rabb
Rasa itu sedemikian menyiksa
Menjadi kenestapaan
Menjadi ketergantungan
Menjadi igau disetiap siang dan malam
“Satukanlah sahaya dengan Manikam dambaan hamba, Ya Rabb!"
Dimuatkan ke fiksi kompasiana 08 Juli 2012 | 09:27
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/07/08/mabuk-kepayang-475338.html
Duhai Adinda kanda teramat rindu
Seperti ayam pulang ke pautan memilih Adinda menjadi tali pergantungan kanda
Pulanglah bila purnawaktu dan bea untuk bersama di rumah ada
Kita ikrarkan itu di rumah kita
Duhai Adinda kanda teramat sedih
Adinda ibarat ayam tiada kais tiada makan
Ikhlaskanlah dan biarkanlah Kanda
Mencarikan punggung yang bertutup, mencarikan perut yang tak berisi
Duhai Adinda kanda teramat sayang
Bolehkah berpinta untuk selama-lamanya
Jangan bawakan lagi buah tangan
Karena mereka tercipta di sini
Bila hal itu ada sumbangkanlah di sana atau di sini
Kepada tempat-tempat Ibadah dan Mereka yang membutuhkan bantuan
Kanda teramat sayang
Semoga memaklumi kanda Si Sederhana ini
Duhai Adinda terlelapkah sekarang
Semoga tamatnya disambut ceria
Maafkanlah kanda Si Sederhana ini
Adinda pulanglah segera
Dimuatkan ke fiksi kompasiana 12 Juni 2012 | 02:06
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/06/12/adindaku-pulanglah-segera-469073.html
Kita terpesona memurukkan diri membarui kembang
Supaya menjadi kembang yang terindah idam-idam kita
Asa serentak jadilah dan jadilah
Selang antara
Kembang idam-idam itu puruk-parak
Tulang dan onak lambang ketegakan dan kegagahan menjelma kenistaan
Padahal telah angan-angan menerawang langit dan menjenguk
Sia-sia
Yang terjadi malah angan-angan mengikut tubuh
Benarkah kita naif
Yang hanya angan-angan menerawang langit lalu sia-sia dan selalu angan-angan mengikut tubuh
Seharusnya tidak
Sungguh biadab jika kita hanya selalu angan-angan menerawang langit lalu gagal selalu angan-angan mengikut tubuh
Dimuatkan ke fiksi kompasiana 12 June 2012 | 01:31
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/06/12/kembang-idam-idam-angan-469070.html
Dari syair sebuah lagu
Kuukir menjadi nasihat
Kukagum betapa penurut
Kutitikkan air mata kujadikan tinta
Untuk menuliskan perjanjian di relung-relung jasad
Menasihatimu bukan menunggui tubuhmu
Kuputar mengingat semua itu:
Gubahanku
Kutuliskan lagu ini
Kupersembahkan padamu
Walaupun tiada indah syair lagu yang kugubah
Kuingatkan kepadamu akan janjimu padaku
Hanyalah satu pintaku
Jangan kau lupakan daku
Walau apa yang terjadi tabahkanlah hatimu selalu
Jangan sampai kau tergoda mulut manis yang berbisa
Setahun kita berpisah
Sewindu terasa sudah
Duhai gadis pujaanku cintaku hanya padamu
Kembali kutitikkan air mata dan kujadikan tinta
Untuk menampakkan goresan-goresan kenestapaan
Di relung-relung jasad itu duhai Gadisku
(Untuk gadis kecilku di mana saja berada)
Dimuatkan ke fiksi kompasiana 07 Juni 2012 | 05:03
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/06/07/duhai-gadisku-467892.html
Memilih yang indah dari yang terindah
Bergelora elok amarah
Asmara kebimbangan kantuk
Nan sangat membelenggu penggoresan lalu
Tumpul
Mengambil asa sebatang rokok berkali-kali
Berkuas bercat putih hitam kelabu
Berbenang-benang kusut pelurus
Sedih berwujud asmara
Kantuk elok kebimbangan
Amarah berteriak gumam
Sungguh lukisan nan berkarau!
Matahari kian diam kian tinggi
Petang kian diam kian sore
Terjadi malam membanting kuas beserta cat
Tertidurlah malam pulas
Surya dijemput nian Si Jago
Berkopi pahit
Lukisan terkoyak-koyak lukisan berserakan
Bingkai terinjak-injak keleluasaannya jalan
Hati menjerit mendengking sunyi
Angan lalu paham tertumbuk
Dimuatkan ke fiksi kompasiana 31 Mei 2012 | 03:54
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2012/05/31/lukisan-466265.html