Gundah Mengetuk Pintu Rumah Cinta

Larut Dani menapak teras-teras cinta, yang semakin hari semakin hanyut, semakin jauh. Tetapi, semakin hari semakin hanyut, semakin jauh, larut pemijakannya hanya di teras-teras cintanya saja. Kegelisahan, kebimbangan, kesedihan tiada henti-hentinya menghinggapinya. Dani gundah, untuk memulai mengetuk pintu rumah-rumah cintanya itu. Apa gerangan yang membuat Dani seperti itu? Karena telah menjadi duda dengan seorang anak yang saat ini menjelang dewasa? Apakah karena usianya yang mendekati setengah abad? Ataukah karena perekonomian yang morat-marit, berantakan tidak keruan tidak menentu penghasilannya? Ataukah dikarenakan apa?


Ketika membersit menggelegak asa cinta kepada Diana, kepada Anggraeni, yang didapatinya dari dunia jejaring sosial. Dani bingung berbuat. Mengirim pesankah, untuk mengatakan cinta kepada keduanya atau kepada salah seorang darinya? Dani tetap terdiam, lalu merenung. Kenapa Tuhan selalu menghadapkan Dani dua pilihan cinta, harus mencintai dua orang wanita? Andai saja harus seperti itu? Rasanya tidak mungkin bagi Dani harus mencintai keduanya dengan keadaan seperti ini. Dengan ketidakjelasan penghasilannya. Sebutlah Dani saat ini miskin. Wahai Tuhan! Seharusnya saya harus bagaimana? Kenapa saya selalu tidak ada keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya yang berada di dalam dada ini, kepada Diana atau kepada Anggraeni, walaupun keadaan saya seperti ini? Wahai Tuhan! Apakah keberanian saya telah hilang terkandas oleh keadaan begini ini? Wahai Tuhan! Menurut saya, mereka adalah pintu gerbang bangunan cinta saya. Sedangkan saya tidak ada sedikit pun keberanian, untuk mengetuk pintu keduanya atau salah satu dari pintu gerbang bangunan cinta saya itu? Haruskah tidak berani karena saya miskin, wahai Tuhan?


Andai saja Dani berbesar hati, berlebar dada dan wawasan, mengingat kembali ke kepribadiannya yang sebenarnya. Sesungguhnya ia termasuk salah seorang dari golongan laki-laki pemberani. Seharusnya Dani berani mengetuk pintu awal sebuah bangunan yang akan dihuni cintanya, dan itu merupakan salah satu tanda lahiriah kelaki-lakiannya, walaupun sedang dalam keadaan bagaimanapun. Teman-teman dekat Dani mengatakan, seolah-olah Dani sedang menderita kelainan jiwa. Kemungkinan akibat kegalauan kehidupan perekonomiannya, yang tidak berkunjung baik. Sehingga ada gelagat baik dari wanita yang akan mencintainya pun, tindakannya selalu dihantui keragu-raguan dan ketakutan. Katanya pula dari kemungkinan setelah tahu sejelas-jelasnya keadaan Dani yang sebenarnya, mereka akan mundur teratur dan menjauhi Dani. Akhirnya Dani seperti sekarang ini, terbiasa membohongi perasaan dan asanya, padahal Dani sendiri sangat merana. Diharapkannya pula mereka mendahului membeberkan isi hatinya dengan seikhlas-ikhlasnya kepadanya, sebelum dan sesudah tahu keadaan kehidupan Dani yang miskin harta benda untuk bekal hidup berumah tangga nanti dan seterusnya. Mungkinkah hal itu terjadi? Sudah termasuk umumkah seorang wanita mendahului mengatakan cintanya kepada seorang pria yang dicintainya, untuk bersama-sama membangun dan mengarungi bahtera rumah tangga hingga ajal masing-masing menjemputnya? Entahlah.

Walaupun tergolong mapan dalam usia kedewasaan seorang laki-laki, Dani harus tetap belajar menyikapi keberadaan dirinya, di tengah-tengah padang subur tetapi nian tandus untuk dirinya. Dani harus mengusahakan pula keadaan dirinya supaya tidak tampak kehausan di tengah-tengah gelora pasangnya air samudra cintanya.

Lazuardi langit yang dihadapi seperti apa yang terlihatnya, nampak jelas biru muda. Dani duduk melamun dengan memainkan nyala sebatang rokok di bibirnya, di tumpukan batu-batu yang dijorokkan ke laut. Celananya disingsingkannya dan membiarkan kakinya berjurai diterjang deburan-deburan ombak laut Taman Impian Jaya Ancol. Berlama-lama melihat keadaan nyatanya alam, apalagi air, menurut Dani, beban yang menghimpitnya akan berkurang. Hingga nampak nun di seberang sana, di ufuk barat cahaya kemerahan, dari matahari yang akan terbenam. Berkas cahayanya bak garis-garis yang sengaja dilukis menyembur. Dani menarik napas. Indah! Dan mulai beranjak meninggalkan tempat itu.

Kala orang-orang bersukacita berbuka puasa dan bercerita tentang sebentar lagi Lebaran, bermaaf-maafan bersama di rumah-rumah bangunan cinta mereka. Ia hanya berbuka dengan segelas plastik air bening, sebatang rokok, berbaur dengan cerita kehampaan hati dan tatapan kosong sepasang matanya. Lalu ia berusaha meminta ampunanNya bersalat Magrib bersama para seniman, di mesjid Pasar Seni.

Setelah itu terduduk di bangku kayu berkerangka besi, beberapa meter dari sebuah sanggar lukis. Hatinya bertanya, kapankah Lebaran harus tiba? Meramban situs-situs web oleh hapenya, untuk mendapatkannya. Belum ada ketepatan ketetapan. Lalu berkeinginan memasuki akunnya di salah satu jejaring sosialnya, serta-merta ia urungkan. Dani mendesah. Hatinya membisiki, akan bertemu dengan Diana, akan bertemu dengan Anggaeni. Walaupun hanya mendapati foto-fotonya, mereka adalah gadis-gadis yang amat dicintainya yang berkaitan erat dengan timbulnya kegundahannya. Berat tidak tertara, bertemu kerinduan berpapasan keras dengan menepis kegundahan. Tidak terasa hapenya telah berada di dalam saku samping celananya, lalu Dani melangkah ke arah sanggar lukis.

Sang Seniman sedang asyik melukis potret diri, sementara televisinya dibiarkannya menyala. Kemungkinan yang beliau simak suaranya. Dani tergoda untuk menonton dan mendengarkannya. Sebentar saja, pening. Dani mengalihkan sendiri perhatian dirinya ke lukisan-lukisan yang terpajang. Sang Seniman menengok, Dani mengangguk.

Kekaguman akan karya manusia, selama hayat dikandung badan, tiada henti-hentinya.

Coretan demi coretan kuas bercat pembentuk warna kulit, sungguh luar biasa halus. Sungguh sempurna, seperti kulit aslinya. Ketika Dani menikmati lukisan wajah dua orang tua renta, mereka begitu ceria, begitu suka romannya Sang Nenek bersanding dengan Sang Kakek. Lama Dani menatap lukisan itu, bersamaan dengan hati mengendapkan kedua orang tuanya yang telah lama tiada. Keluarlah dua tokoh lukisan itu dari kanvas, dengan air mata mereka menghancurkan bingkai pembatas dirinya. Serentak menggandeng tangan Dani dan berbisik, “Teramat sedih, berjuta-juta hasil pemikiran tanpa wujud. Seperti terduduk di atas mata runcing ketidakpastian. Berkesimpulan, bertangan hampa. Hanya kesedihan, kegelisahan, dan kebimbangan yang tertuai. Kalaulah pedang telah terhunus, dimasukkan jangan, teramat sayang!” Dani terkesiap, hampir terperenyak karena kestabilan pemijakannya antara teras dengan undakan lantai sanggar lukis. Bersamaan dengan itu, Sang Seniman menghampiri menanyainya, “Apakah Bapak hendak dilukis?”

“Ti … tidak! Terimakasih. Saya telah cukup dilukis!” Dani gugup, sekenanya.

“Oh, ya! Silakan! Selamat menikmati!” Kata Sang Seniman sambil kembali untuk meneruskan pekerjaannya.

Semua yang terjadi, bak menoreh keikhlasan hati, keberanian lurus dan tegaknya Dani terhadap apa yang telah Digariskan Tuhan untuknya. ***

(Pataruman, Rabu 07 Agustus 2013/02:09:04) 


Dimuatkan di:
http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/08/07/gundah-mengetuk-pintu-rumah-cinta-582690.html

Bagikan:

0 Komentar: